Selasa, 10 Mei 2011

Apabila Paus wafat, bagaimana Paus berikutnya dipilih?

Prosedur pemilihan paus mengalami perkembangan sepanjang sejarah Gereja. Pada abad-abad pertama, kaum klerus dan rakyat Roma yang memilih penerus paus, biasanya dipilih seorang yang telah bekerjasama erat dengan paus terdahulu. Pada tahun 1059, Paus Nikolaus II lebih lanjut menetapkan proses pemilihan paus dengan menunjuk para kardinal sebagai mereka yang memilih pewaris tahta suci. Di abad-abad belakangan ini, semua paus sejak Paus St Pius X (terkecuali Paus Yohanes Paulus I) telah menyempurnakan prosedur pemilihan paus, teristimewa Paus Paulus VI dalam konstitusi apostolik “Romano Pontifici Eligendo” (1975) dan Paus Yohanes Paulus II dalam konstitusi apostolik “Romano Dominici Gregis” (“RDG”) (1996). Tetapi, seperti dimaklumkan Paus Yohanes Paulus II, “Saya sangat berhati-hati dalam merumuskan ketentuan yang baru agar tidak menyimpang substansinya dari tradisi yang bijaksana dan terhormat, yang telah ditetapkan sebelumnya.”

Para kardinal diserahi kepercayaan dan tanggung jawab untuk memilih penerus St Petrus (Kitab Hukum Kanonik, No. 349). Para kardinal, pertama-tama, mewakili Gereja universal, sebab mereka berasal dari berbagai macam benua. Kedua, setiap kardinal dipertalikan dengan Keuskupan Roma, baik sebagai pemimpin tituler (= hanya gelar saja) sebuah Gereja di Roma dengan gelar Kardinal Diakon atau Kardinal Imam; atau sebagai salah satu dari keenam uskup tituler dari keuskupan-keuskupan di pinggiran Roma, atau sebagai salah satu dari patriark (disebut juga batrik) Gereja-gereja Timur, masing-masing dengan gelar Kardinal Uskup.

Saat ini, kardinal pemilih berjumlah 120 orang. Seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, “Dalam keadaan sekarang ini, Gereja yang universal secara memadai diwakili oleh suatu dewan dengan 120 pemilih, terdiri dari para kardinal yang berasal dari berbagai belahan dunia dan dari berbagai macam kultur budaya.” Namun demikian, para kardinal yang telah merayakan ulang tahun mereka yang kedelapanpuluh pada hari sebelum Tahta Suci lowong (karena wafat atau pengunduran diri paus yang berkuasa) tidak ikut ambil bagian dalam pemilihan paus yang baru (“RDG,” No. 33).

Apabila seorang paus meninggal dunia, ada sembilan hari masa berkabung, dalam masa ini upacara pemakaman dilaksanakan. Kecuali karena alasan-alasan khusus, paus yang wafat dimakamkan antara hari keempat hingga hari keenam setelah wafatnya. Setidak-tidaknya 15 hari setelah wafat paus, dan tak lebih dari 20 hari, para kardinal berkumpul di Vatikan (No. 37, 41). Mereka akan tinggal di Rumah St Marta, yaitu rumah tamu yang terletak dalam Kota Vatikan, dekat Basilika St Petrus. (Di masa-masa belakangan ini, para kardinal tinggal di tempat tinggal sementara yang sangat sederhana dekat Kapel Sistine).

Perundingan seksama di antara para kardinal dan pemungutan suara dilaksanakan di Kapel Sistine. Paus Yohanes Paulus II menetapkan, “… pemilihan akan terus dilangsungkan di Kapel Sistine, di mana segala sesuatu menghantar pada kesadaran akan kehadiran Tuhan, yang dalam pandangan-Nya, setiap orang suatu hari kelak akan dihakimi” (Intro). (Ingat lukisan Michelangelo menggambarkan jiwa memasuki “Pengadilan Terakhir” yang menghiasi dinding belakang Kapel Sistine.)

Conclave harus dilangsungkan tanpa adanya campur tangan pihak luar sama sekali. Hanya mereka yang berwenang saja yang diperkenankan memasuki Rumah St Marta dan Kapel Sistine. Tak seorang pun diperkenankan mendekati para kardinal pemilih sementara mereka melintasi Rumah St Marta dan Kapel Sistine (No. 43). Segenap mereka yang tidak berkepentingan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan cara apa pun dengan para kardinal (No. 45).

Juga tingkat kerahasiaan yang tinggi harus dijaga selama conclave berlangsung. Paus Yohanes Paulus II menegaskan, “Lebih lanjut saya menegaskan melalui wewenang apostolik saya mengenai kewajiban menjaga kerahasiaan secermat mungkin berkenaan dengan segala sesuatu yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan proses pemilihan itu sendiri” (Intro). Karena itu, para kardinal pemilih melakukan sumpah khidmat secara pribadi untuk mentaati ketentuan-ketentuan seperti yang ditetapkan dalam “Universi Dominici Gregis” dan untuk menjaga kerahasiaan selama maupun sesudah pemilihan “menyangkut segala sesuatu yang dengan cara apapun berhubungan dengan pemilihan Uskup Roma dan menyangkut segala sesuatu yang terjadi di tempat pemilihan” (“RDG” No. 53). Para kardinal tidak diperkenankan “berkomunikasi - entah melalui tulisan, telepon, ataupun sarana-sarana komunikasi lainnya - dengan orang-orang di luar wilayah di mana pemilihan dilangsungkan” (No. 44, 53). Di samping itu, selama masa conclave, para kardinal tidak diperkenankan membaca koran atau majalah, mendengarkan radio, ataupun menonton televisi (No. 57). Segala bentuk pelanggaran terhadap kerahasiaan akan berakibat “hukuman yang berat”, termasuk ekskomunikasi, seperti diputuskan oleh paus yang bertahta (No. 55).

Di samping itu, sebelum pemilihan, “pemeriksaan yang cermat serta seksama harus dilakukan dengan bantuan orang-orang yang terpercaya dan kompeten dalam bidang teknik guna memastikan bahwa tak ada peralatan audiovisual yang dipasang secara tersembunyi di wilayah tersebut untuk merekam dan mengirimkannya kepada pihak luar” (No. 51). “Segala bentuk peralatan teknik untuk merekam, menggandakan, ataupun menyampaikan suara, gambar-gambar visual, ataupun tulisan” dilarang (No. 61).

Ada alasan-alasan tepat di balik segala peraturan ini, teristimewa di abad kita yang sarat campur-tangan media dan paparazzi. Suatu peristiwa sejarah besar yang mengilhami banyak dari peraturan-peraturan ini berkenaan dengan conclave pada tahun 1268. Ketika Paus Klemens IV wafat tahun itu, para kardinal berkumpul di istana kepausan di Viterbo, Italia. Karena berbagai tekanan politik, para kardinal tidak dapat memutuskan seorang paus hingga hampir tiga tahun lamanya. Akhirnya, mereka “dikunci” dengan “pengawas-pengawas conclave” yang ditunjuk guna mencegah mereka mangkir. (Kata “conclave” berasal dari bahasa Latin “dengan kunci”). Namun demikian, mereka masih tetap belum dapat menentukan seorang paus. Orang banyak menjadi begitu frustasi hingga mereka membongkar atap, membiarkan para kardinal yang terkurung itu rentan terhadap cuaca. Para kardinal hanya diberi makan roti dan air saja. Akhirnya, pada tanggal 1 September 1271, mereka memutuskan seorang penerus, Paus Gregorius X. Sejak saat itu, pertemuan para kardinal guna memilih seorang paus dikenal dengan istilah “conclave”.

Oleh sebab conclave yang begitu lama ini, Konsili Lyon II (thn 1274) menetapkan bahwa untuk conclave di masa mendatang, para kardinal pemilih akan “dikurung” guna meghindari segala bentuk kekuatan pihak luar dalam mempengaruhi pemilihan. Walau kemudian dibatalkan, Konsili juga menetapkan bahwa jika seorang paus belum terpilih setelah tiga hari, maka para kardinal hanya akan diberi makan satu kali pada siang hari dan satu kali pada malam hari; dan jika seorang paus masih juga belum terpilih setelah lima hari, mereka hanya akan diberi makan roti, air, dan anggur. Cara hidup yang demikian dimaksudkan memotivasi para kardinal untuk memilih seorang paus tepat pada waktu yang telah ditentukan.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Cardinals, Conclaves and a New Pope” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved;www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar